Monday, May 19, 2014

Doa Bapa Kami

MATAKU menatap ke layar komputer, lekat. Di sana kelihatan jasad Bapak terbujur, tubuhnya seperti lebih besar daripada yang kuingat. Hatiku teriris tiap kali kamera didekatkan ke wajah Bapak yang membengkak. Ingin menangis tetapi tak ada air mata. Pendoa Doa Bapa Kami telah tiada, batinku sendu.

Bapak punya kebiasaan, menutup doa-doanya dengan Doa Bapa Kami, bahkan doa makan. Meski doanya panjang, namun tak menjadi masalah bagiku. Hanya sedikit kekhawatiran bila saudara-saudaraku yang lain merasa tidak nyaman. Aku bahkan semakin bersimpati kepada Bapak, mengingatkan aku bahwa Tuhan Yesus yang telah mengajarkan doa tersebut.

Bapak memberikan teladan kepadaku untuk mengikuti jejaknya. Lalu aku memulainya, tapi ternyata susah juga mendisiplin diri menutup doa-doa dengan Doa Bapa Kami. Tampaknya sepele, ternyata tidak.

Dalam doa-doa malam sebelum tidur pun aku pernah mencobanya, tapi hanya bertahan beberapa kali saja. Doa Bapa Kami akhirnya kembali aku ucapkan hanya di setiap kebaktian-kebaktian minggu atau pada acara-acara kebaktian lainnya.

Bapak seorang sederhana. Ia tak banyak bicara. Sikapnya dalam berdoa telah memberikan contoh kepada kami anak-anaknya. Ia selalu melipatkan tangan dan menundukkan kepalanya, berdoa dengan suara yang mantap. Ia menyebutkan satu per satu nama-nama anggota keluarga dengan permohonan, lalu menutupnya dengan Doa Bapa Kami.

Kenangan itu masih kuat di ingatan meski sekarang aku berada jauh ribuan mil dari rumah. Lebih dari sebelas tahun aku tinggal di negeri asing, bersama suami dan anak-anakku, dan sejak itu pun aku belum pernah bertemu muka dengannya lagi selain bercakap-cakap melalui telepon atau mengirimkan surat. Hatiku nelangsa mengingat betapa lama kami tak jumpa.

Mataku masih menyaksikan jalannya ibadah penghiburan dalam layar komputer. Kepalaku mulai menggagas untuk mengajarkan putri bungsuku berdoa Doa Bapa Kami. Mengingat itu, aku bersemangat, menoleh ke arahnya, si delapan tahun, di sisi kananku. Ketiga anakku yang lain, dan suamiku juga ada di ruang keluarga,masing-masing dengan pikirannya sendiri.

Doa Bapa Kami, Doa Bapa Kami. Aku terus mengucapkan kalimat itu dalam hati sambil berpikir, kapan akan mulai mengajarkannya? Waktu itu Desember menjelang.

*

Ya, ampun! Aku baru sadar beberapa hari lalu menerima kiriman gelang plastik warna-warni bertuliskan Doa Bapa Kami yang kupesan. Rencananya, aku akan menghadiahkan gelang itu untuk Wanda, si bungsu, sebagai hadiah Natal, setelah itu mengajaknya menghapal Doa Bapa Kami.

“Kakek selalu mengakhiri doa-doanya dengan Doa Bapa Kami,” kataku malam itu.

Ia hanya diam. Aku memakluminya karena ia belum tahu apa itu Doa Bapa Kami.

“Mau Ibu ajari Doa Bapa Kami?”

Ia hanya menatapku, mengangkat bahu, lalu berlari menjauh, menonton televisi. Aku menghela napas panjang.

Sampai Natal telah lewat, kami belum mulai menghapal Doa Bapa
Kami. Keinginan itu seperti timbul-tenggelam. Ada semacam dorongan melaksanakan keinginan itu sebagai rasa hormatku kepada Bapak, tetapi juga keengganan karena tak tahu bagaimana membuat Wanda tertarik melakukannya. Maklumlah, ia masih kanak-kanak tapi aku memang berhasrat mengajarkannya sedini mungkin.

Sampai satu malam, aku memasukkan baju-baju bersih ke lemarinya, kulihat gelang-gelanghadiah itu lagi, di sudut meja belajarnya, dan di bawahnya tercantum catatan Doa Bapa Kami.

“Wanda!”

Beberapa detik wajahnya muncul di pintu. Aku melambaikan gelang dan kertas doa itu, berkatadengan riang, “Ini Doa Bapa Kami. Ayo, baca!”

“Ahhhh....,” katanya malas.

“Ayolah, Sayang. Mulai malam ini kita belajar menghapal Doa Bapa Kami ya?”

Wanda mengangkat alisnya, mengangkat bahunya.

“Kamu akan berusia sembilan tahun. Sudah besar, jadi harus belajar doa yang lain.”

Senyumnya mengembang. Rupanya ia senang dengan sebutan sudah besar. Sebelum ini dia hanya berdoa sangat sederhana, berterimakasih kepada Tuhan atas hari itu dan memohon penyertaan Tuhan di malam hari sewaktu tidur dan bangun dengan segar keesokan harinya, kemudian amin. Ia lalu mendekat, mengambil kertas berisi Doa Bapa Kami dari tanganku

“Tapi itu doa yang panjang, Bu,” keluhnya setelah beberapa detik memandangi isi kertas itu.

“Lama-lama kalau dibaca tiap malam, akan hapal. Yuk!”

Tak ada bantahan lagi darinya. Ia lalu membaca cepat sambil menjatuhkan dirinya di tempat tidur.

"Kalau berdoa, jangan cepat-cepat. Berdoa itu bicara kepada Tuhan. Kita harus hormat. Berdoa dari dalam hati," kataku lembut.
Ia duduk kembali dan mengulang membacanya lebih pelan.

Begitulah tiap malam kami mengulang Doa Bapa Kami. Tetapi selama itu ia tak menghapal, hanya membaca, dan ia tampak tak berminat. Aku tak tahu harus melakukan apa, namun tetap mendampinginya membaca doa itu sebelum tidur.

Satu malam aku ke kamarnya, dan tak kan mengingatkannya berdoa. Melihat beberapa kertas hasil corat-coret gambarnya berserakan di lantai, aku berniat memungutnya. Sambil memungut satu per satu, aku memperhatikan hasil coretan gambar animenya.

"Duh, putri Ibu satu ini memang punya bakat menggambar. Bagus benar gambar-gambarnya. Mungkin Ibu sendiri tidak bisa menggambar seperti ini," ucapku dengan penuh bangga.

Namun ia tak meresponsnya, malahan aku mendengarnya mengucapkan Doa Bapa Kami. Seketikan itu aku menoleh ke arahnya. Ia duduk di atas tempat tidurnya, berdoa dengan kedua mata ditutup dan melipat kedua tangannya. Badanku tak bergerak, menunggunya selesai berdoa. Ketika ia membuka matanya, mata kami bertatapan. Aku tersenyum. Kertas-kertas yang baru kupungut itu berhamburan lagi ke lantai. Aku tak peduli.

“What?” tanyanya sambil mengerutkan keningnya.

“Ibu senang sekali, Sayang. Akhirnya kamu hapal doanya,” kataku sambil mendekap tubuhnya yang mungil dan menciumi kedua pipinya. “Kakek pasti senang melihatmu.”

“Dari surga?” tanyanya.

“Tentu. Cucunya yang cantik dan pintar mengucapkan Doa Bapa Kami seperti Kakek.” Kulepaskan kedua tanganku, lalu sibuk menghitung, “Januari, Pebruari, Mar… Kurang dari tiga bulan kamu sudah hapal!” kataku sambil menciuminya.

"Ibu, stop-stop!"

"Oke, maaf, Sayang. Ibu terlalu senang. Sekarang, tidurlah."

“Tapi, Bu!”

“Apa?”

“Bolehkah aku mengucapkan doa lamaku?"

"Tentu. Doa apa pun Tuhan senang.”

Pelan-pelan aku menutup pintu kamarnya. Kejadian itu seperti melepas beban di hatiku. Aku sudah meneruskan kebiasaan Bapak ke anakku. Bagaimana denganmu sendiri? Tiba-tiba perkataan itu melintas di telingaku. Aku?

Aku tercenung. Ya, bagaimana denganku. Aku mengajari Wanda berdoa Bapa Kami sementara aku tidak berdoa. Sesuatu menyentuh hatiku, dan tiba-tiba kedua mataku terasa panas. Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Hati terganggu sementara aku menuruni anak tangga ke ruang keluarga. Suamiku sedang menonton televisi sambil online menggunakan laptop.

"Sayang, ada berita bagus," kataku sambil duduk di sampingnya.

"Oya, apa itu?"

"Wanda sudah hapal Doa Bapa Kami."

“Hm, bagus. Dan kamu senang dengan itu, kan?”

“Yaaa....,” jawabku panjang.

Kemudian aku diam, mataku lurus ke arah televisi. Suamiku menoleh, melebarkan lengannya dan memeluk pundakku, berkata,

“Lalu apa yang mengganggu hatimu sekarang?”

Pertanyaan itu tepat ke jantungku. Apa yang menggangguku sekarang?

“Sayang, sudah saatnya kita berdoa bersama dalam waktu khusus. Hanya keluarga kita. Bagaimana menurutmu?”

Suamiku terdiam. Aku menunggu jawabannya dengan tenang, dan merasa hatiku lebih lega, karena sedikitnya sudah melemparkan gagasan itu.

***

*Fida Abbott, penulis buku Antusiasme, tinggal di Pennsylvania, Amerika. Blog: www.abbottsbooks.com

Tulisan ini telah ditayangkan di Kebun Cerita, Mei 2014: http://kebuncerita.com/?p=1271


No comments:

Post a Comment