Thursday, July 28, 2016

Beratnya Menghormati dan Bertoleransi



Idul Fitri sudah lewat. Saya yakin dari minggu lalu sudah banyak pemudik yang kembali ke rumah masing-masing. Lain halnya di Pennsylvania, USA. Tak ada perbedaan saat Idul Fitri tiba, hingga saya pun lupa. Padahal seminggu sebelumnya sudah mengingatnya. Bagaimana saya kembali mengingatnya?

Saat sibuk-sibuknya siang hari kami bekerja di depan layar komputer, tiba-tiba pimpinan perusahaan kami datang dan membawa sekotak besar berbagai macam donat dari Dunkin’ Donuts. Karena jumlah tim kami tidak banyak, maka tak lama donat-donat itu pun habis. Dalam perjalanan pulang ke rumah yang memakan waktu sekitar satu jam perjalanan dengan menyetir mobil, pikiran pun melayang ke pimpinan perusahaan. Pemberian donat siang hari itu mengusik pikiran. Saya bertanya dalam hati, mengapa ia membawa donat-donat tersebut? Saya berpikir pasti ada yang khusus. Saya terus berpikir apakah yang khusus itu? Ulang tahun, bukan. Merayakan Ulang Tahun perusahaan pun bukan. Akhirnya, saya pun baru ingat kalau hari itu adalah hari Idul Fitri dan pimpinan perusahaan adalah muslim, kelahiran Iran. Hal itu membuat saya kecewa, tidak mengucapkan Selamat Idul Fitri kepadanya.

Saya baru sadar setelah dua minggu bekerja di tempat pekerjaan tersebut, tidak pernah melihatnya makan dan minum di antara semua anggota tim. Tentu ia pun berpuasa, tapi ia selalu ada di tengah-tengah para karyawannya walau kami sedang asyik menikmati makanan dan minuman. Ia pun tak menampakkan kalau sedang berpuasa sehingga membuat saya pun lupa. Facebook-lah yang membuat saya ingat kembali melihat foto-foto makanan untuk berbuka puasa atau membaca berita-berita online mengenai penggrebekkan warung-warung yang buka di siang hari.

Berita-berita tersebut menarik perhatian saya. Yang menarik adalah para penggrebek membawa pulang makanan yang dijual di warung dan melihat ibu—si penjual—menangis. Hati saya sangat iba, bagaimana perasaan para penggerebek itu membawa pulang makanan ibu penjual warung tersebut. Mungkin ibu itu tetap berjualan karena pembelinya juga banyak yang tidak berpuasa—misalnya para pembecak—sehingga ia ingin tetap melayani selain menginginkan keuntungan. Semestinya ditutup saja kalau memang dibuat aturan tidak boleh berjualan (razia) di siang hari dan dapat dibuka kembali sejam sebelum waktu buka puasa tiba. Tidak perlu berbagi-bagi makanan yang bukan miliknya sendiri. Apakah mereka tidak berpikir dari mana ibu itu akan mendapatkan kembali uangnya? Tentu saja ia menangis karena uangnya tidak dapat kembali lagi. Mungkin ia tak memiliki cukup uang untuk menjual makanan lagi atau ia akan berhutang untuk berjualan lagi. Benar-benar saya tidak tega membaca berita tersebut dan melihat videonya. Hingga saya berpikir apakah para penggerebek itu sedang berpuasa juga? Kalau memang mereka sedang berpuasa, maka sia-sialah ibadah puasa mereka.

Dari berita tersebut, timbul pikiran yang lain. Kalau dengan sesama muslim mereka bertindak seperti itu, bagaimana halnya kepada yang tidak sesama muslim? Semoga berita ini menjadi renungan bersama bagaimana mengasihi sesama selama bulan Ramadhan dan semoga tak terulang lagi dan ibadah puasa mereka diterima oleh Tuhan.

Bertoleransi itu sebenarnya indah, tidak hanya dengan yang berbeda agama, melainkan dengan sesama agama pun, khususnya di bulan Ramadhan. Tidak hanya menghormati dan bertoleransi dengan yang sedang berpuasa tapi juga kepada mereka yang tidak berpuasa pun, termasuk yang muslim. (*)      



Sumber foto: Google

 
Artikel ini telah dipurbilkasikan di Harian Online KabarIndonesia (HOKI), 16 Juli 2016.
Link Artikel di HOKI