Saturday, September 26, 2015

Cerita Pekerja Illegal Indonesia di USA


Pagi itu sekitar pukul 11 siang meskipun matahari belum berada tepat di atas kepala, namun menjelang musim gugur saat pertama kali saya rasakan di negara USA cukup membuat kulit terasa perlu untuk dibungkus dengan mantel.  Lebih baik hangat daripada kedinginan.  Kondisi Kebun Binatang di Philadelphia saat itu penuh sesak.  Terlihat antrian yang sangat panjang hampir memenuhi jalan masuk ke pintu gerbangnya.  Suami saya pun sibuk melihat ke segala arah, berharap akan menemukan orang-orang Indonesia sehingga saya dapat bertemu teman setanah air.  Dapat saya maklumi, karena di Philadelphia, terutama di daerah China Town, terdapat komunitas Indonesia yang cukup besar yang tinggal di sana.  Akhirnya suami saya  pun berbisik di telinga saya mengatakan sambil menunjuk ke suatu tempat, "Do they speak Indonesian?" (Apakah mereka berbicara dalam Bahasa Indoensia?).  Oleh karena ramainya orang-orang yang membeli tiket, saya pun tidak dapat mendengar apakah mereka berbahasa Indonesia ataukah tidak. Akhirnya saya berinisiatif untuk sedikit mendekat ke arah mereka. Ternyata benar, mereka orang-orang Indonesia.

Saya pun menyapa mereka, dan tampaknya mereka pun biasa-biasa pula, tidak seperti saya yang excited.  Maklum, kota dan apartemen tempat dimana saya tinggal waktu itu tak ada satu pun orang Indonesia yang pernah saya temui, sehingga kalau saya bertemu dengan mereka sesama bangsa, rasanya senang sekali. Itulah yang menjadi salah satu kerinduan suami saya. Dia sangat senang apabila saya bertemu dengan orang-orang Indonesia.

Pertemuan di Kebun Binatang itu akhirnya manjadi suatu awal saya mengetahui begitu banyak cerita tentang masyarakat Indonesia yang bekerja di negara perantauan, USA.  Mereka bertujuh adalah korban penipuan sebuah agency.  Agency yang telah membawa mereka ke negara USA akhirnya tidak memenuhi kewajiban akhirnya untuk memperpanjang visa kerja mereka di sana.  Akhirnya status mereka tidaklah jelas.  Ingin tetap bekerja di USA tetapi selalu was-was karena setiap saat mereka harus siap untuk dideportasi.  Ingin pulang, tetapi biaya balik modal masih jauh dari mencukupi. Hampir semua modal yang digunakan untuk berangkat ke USA merupakan uang pinjaman yang tentunya harus dibayar melalui hasil keringat mereka.  Itu pun belum terhitung uang kiriman untuk membantu ekonomi keluarga mereka di Indonesia.  Tidak jarang pula gaji yang dibayar adalah ‘di bawah tangan', dalam arti mereka bukanlah para Pembayar Pajak Pendapatan.  Kalau sudah begini, sudah jelas mereka tidak mendapatkan ‘benefit', terutama asuransi kecelakaan, kesehatan ataupun kematian, dan lain-lain.  Hal ini terjadi oleh karena mereka adalah para pekerja illegal.

Dalam percakapan di telepon dengan mereka, saya sarankan untuk berkonsultasi dengan orang-orang KBRI di Washington DC.  Ternyata mereka pun mendapat nasehat yang cukup bijaksana, agar mereka tetap bekerja dengan baik dan hati-hati.  Nasehat yang singkat itu pun ternyata mampu memberikan semangat dan keberanian mereka untuk memutuskan tetap bekerja di USA.  Saya pun menambahkan, "Syukurlah kalau begitu, jangan lupa menyisihkan uang untuk ditabung, agar nanti sewaktu pulang ke Indonesia dapat dijadikan modal untuk buka usaha sendiri."  Dengan kagetnya saya pun mendapat jawaban di luar dugaan saya.  Seorang di antara mereka berkata, "Bagaimana mau menabung, Mbak.  Kita juga tidak jarang membantu rekan-rekan untuk menyambung hidup karena mereka belum dapat kerjaan.  Ya semuanya, numpang tinggal, makan, minum, dan sebagainya."  Saya pun terdiam, dan ia pun melanjutkan, "Nggak apa-apalah Mbak, sama-sama di perantauan.  Saling membantu saudara sebangsa sendiri. Pokoknya ramai-ramai bersama-sama, susahnya bisa jadi lupa." 

Saya pun menanyakan ketidaknyamanan hidup mereka karena kemana pun mereka pergi, mereka harus berwaspada dari sweeping pihak yang berwajib.  Kalau pun ingin pulang, pengakuan mereka mengatakan, kemana mereka harus mencari pekerjaan di Indonesia.  "Susah Mbak cari kerja di Indonesia.  Biarlah begini, sepanjang saya dan teman-teman bekerja dengan baik.  Kalau kena sweeping, apa mau dikata, ya sudah nasib kena deportasi," itulah pengakuan mereka.

Percakapan melalui telepon saat itu meninggalkan kesan yang dalam, karena mendengar cerita curahan hati mereka selama hidup di USA yang bermacam-macam.  Saya pun mengundang makan siang kepada mereka di apartemen saya bila mereka mau.  Tetapi oleh karena kesibukan mereka dan jadwal kerja yang berbeda satu dengan yang lainnya, mereka pun belum dapat mewujudkan keinginan saya untuk mengundang mereka makan siang di apartemen waktu itu, hingga sampai saya pindah ke rumah baru di kota lain. Jejak mereka pun akhirnya  sudah tak ada lagi, selalu berpindah tempat alias nomaden.

Cerita kedua, saya dapatkan sewaktu saya dan suami saya sedang merayakan Anniversary pertama kami di bulan Nopember, tahun 2003, dengan makan malam di salah satu restaurant Indonesia di Philadelphia.  Seorang pelayan perempuan tampak sebaya usianya dengan saya, dan saya pun mencoba untuk menyapanya.  Dari perkenalan itu, cerita tentang kehidupan orang-orang Indonesia yang bekerja di USA pun bertambah.  Dia adalah seorang sarjana lulusan dari salah satu Universitas terkenal di Surabaya.  Menjadi pelayan di restaurant, menurutnya adalah pekerjaan sementara saja sambil dia mencari pekerjaan lainnya yang lebih baik.  Beberapa bulan kemudian saya pun mendengar dari pengakuannya via telepon, bahwa dia sudah pindah bekerja di sebuah pabrik.  Suaminya mendapat kecelakaan kecil, tetapi mereka tidak memiliki asuransi kesehatan, sehingga mereka pun meminjam uang dari Pemerintah setempat.  Jangan ditanya berapa besar uang yang dipinjam.  Biaya pengobatan di USA sangatlah mahal.  Dia pun mengaku, sudah tidak tahu lagi kapan bisa melunasi karena terlalu tinggi untuk ukuran pendapatan mereka, yang penting mereka selalu membayar semampu mereka setiap bulan.  Saya pun menyarankan bila mereka membeli asuransi kesehatan dengan program yang murah saja.  Ternyata saya barulah tahu, apabila mereka tak dapat membeli asuransi kesehatan, karena status mereka yang sudah tidak legal lagi untuk tinggal di USA, dan mereka pun masih berusaha keras memohon petisi mereka pada Departemen keimigrasian di USA.  Bagaimana jalan cerita selanjutnya, saya pun tak dapat mengikutinya karena jejaknya pun sudah hilang.  Entah kemana, karena HP yang saya hubungi pun sudah tak pernah dijawab lagi.

Cerita lainnya setelah kelahiran putri saya beberapa bulan kemudian, kami menghadiri acara perayaan 17 Agustus 2004 di Philadelphia yang dituanrumahi oleh sebuah gereja Indonesia di Philadelphia.  Dari sana juga saya bertemu komunitas Indonesia.  Seorang diantaranya bercerita bagaimana dia menjalani hidup di USA.  Meskipun sudah cukup lama tinggal di USA, tetapi status dirinya dan keluarganya tidaklah jelas, hanya seorang putranya saja yang berwarga negara Amerika karena dia lahir di Amerika.  Cobalah kita bayangkan, bagaimana sedihnya hidup mereka.  Pulang ke Indonesia pun sudah tidak bisa meskipun untuk menengok keluarga, karena kalau mereka akan pulang, berarti mereka menyerahkan diri mereka untuk terdeportasi, sehingga mereka akan sulit kembali untuk pergi/datang ke USA, alias sudah tidak bisa lagi karena sudah pasti pengajuannya akan ditolak.  Lalu bagaimana?  Ya, untunglah dia beserta suaminya masih tetap bekerja.  Meskipun jaraknya memakan waktu 1 jam lebih, tetapi oleh karena bersama-sama dengan rekan-rekan Indonesia lainnya yang berangkat satu mobil bersamaan, maka jarak pun bukanlah menjadi masalah.

Cerita yang lainnya???  Masih banyak cerita lainnya dari pertemuan-pertemuan saya dengan mereka yang bekerja di USA dengan status yang tidak jelas.  Menyedihkan sekali.  Tetapi tidak semua mereka yang bekerja di USA seperti demikian.  Mereka yang berstatus legal, dalam arti memiliki kartu permanent resident, mereka bekerja dengan baik dan memiliki karier yang mapan.  Rata-rata mereka sudah bekerja tahunan di USA dan akhirnya dipercaya menjadi Manager dan mereka telah menikah dengan warga USA.  Ada juga mereka yang menyelesaikan studi dan bekerja di sana dan akhirnya menikah dengan warga negara USA, sampai ada pula yang telah menjadi Direktur perusahaan yang cukup terkenal.

Cerita-cerita di atas merupakan gambaran sesuatu yang dapat diambil pelajaran untuk siapa saja yang berkeinginan mengadu nasib di negara USA.  Pandai-pandailah dalam mengambil langkah.  Mengapa saya katakan demikian, karena saya melihat sebuah bukti nyata seorang sanak keluarga yang pernah bekerja di USA bertahun-tahun di kapal pesiar.  Dia menyempatkan diri untuk mengambil kursus perhotelan/akademi perhotelan pada saat dia ‘turun kapal'.  Dengan statusnya yang hanya lulus SMA di Indonesia dan lulus lewat kursus/akademi perhotelan di USA, sekarang dia telah dipercaya menjadi salah satu Manager Personalia Hotel Berbintang Lima di Bali.

Apakah anda merupakan seorang di antara mereka yang berkeinginan untuk bekerja di USA?  Bila jawabannya adalah ‘YA', berbenahlah sedini mungkin.  Siapkan diri anda untuk dapat menguasai Bahasa Inggris dengan baik.  Siapkan pula keuangan anda yang kuat sebagai modal awal hidup anda di negeri orang.  Jangan gunakan visa kerja anda untuk akhirnya menetap di negara tersebut, karena ini akan menjadi boomerang bagi hidup anda.  Lainnya??  Dibutuhkan mental yang tangguh untuk hidup di negara USA.  Tidak perlu saya jelaskan sedetail mungkin, tetapi sebuah gambaran di bawah ini akan dapat menjadikan sebuah inspirasi anda untuk berpikir dua kali.

‘Mereka adalah orang-orang berduit di Indonesia yang memiliki usaha (pengusaha) tetapi mereka harus mau tidak mau merendahkan dirinya untuk hidup dalam sebuah rumah/ruangan kecil untuk dapat survive di USA.'

Jadi, janganlah mengira mereka yang bekerja di USA adalah berduit karena mereka selalu mengirimkan duit mereka ke sanak keluarga di Indonesia, tetapi keluarga mereka di Indonesia tidak mengetahui kerasnya kehidupan mereka untuk bertahan hidup di negera tersebut.  Apakah anda termasuk kloter berikutnya???

***

Keterangan Foto:
Kebun Binatang Philadelphia-2002 (Penulis duduk nomor 4 dari kiri  dengan dua anggota keluarga duduk dan berdiri di sampingnya, bersama 6 (enam) pemuda Indonesia dan seorang Pemudi Indonesia berasal dari Jakarta yang sedang bekerja di USA.  


Artikel ini telah dipublikasikan di KabarIndonesia, 30 September 2008

Wednesday, September 2, 2015

Welcome Back to School

Hip-hip horray!
I'm in the first day of Middle School today.
Excited and nervous.

I could not wait to get ready soon
even though it was still at 5 AM.
Having breakfast at 5.30 AM
and waiting for the school bus coming at 7 AM.

My mom got mad.
I woke up too early.
Made her wake up too early, too.
She said tomorrow I had to set up the alarm at 5.45 AM
instead of 5 AM.

In the bus I took a seat by myself at the front.
Everybody was so quiet.
No talk, no laugh, no smile
and I was busy with my own thought.

When I came back from school
My mom asked me so many questions.
But I only had one response,
"Mama, I could not open my locker."

August 1, 2015

Monday, August 31, 2015

Menumbuhkan Tanaman Kacang Panjang di Pennsylvania, USA

Published at KabarIndonesia, September 1, 2015:

Tanaman kacang panjang ini tumbuh subur di Pennsylvania, USA. Tidak banyak terserang penyakit. Pemeliharaannya cukup dengan mengairi, pemupukan NPK 9-12-12, pemangkasan daun-daun kering dan tidak sehat, serta penyiangan. (Juli 2015)
Tanaman kacang panjang pertama yang tumbuh memiliki panjang lebih dari 1,5 feet. Tampak pada gambar hasil panen pertama beberapa kacang panjang dari satu tanaman. (Juli 2015)
Beberapa kacang panjang dibiarkan mengering di dahannya untuk dipanen biji-bijinya. Tampak pada gambar hasil panen biji-biji kacang panjang yang siap ditanam pada musim panas berikutnya. (Juli 2015)

Tuesday, April 14, 2015

HAIKU (White Lilies & Butterfly)

WHITE LILIES

Blooming white lilies
Arranged on the pots nicely
Caught our both eyes

A sign of spring comes
Time to celebrate the joy
Time of gardening

Fragrant white lilies
Arranged on the pots sweetly
Caught our sinned heart

Sign to remember
The winning of life from sin
Wiped till shiny white

Walmart Associate Room, Coatesville, 04-02-2015


BUTTERFLY

Fly-fly butterfly
You won't reach into the sky
No words of "Bye-bye"

Land to my petals
Spread your wings and rest nicely
It's your home sweet home

Come-come butterfly
Don't miss lot of sweets I have
Source of food you need

Walmart Associate Room, Coatesville, 05-09-2015 & 09-26-2015


                                                                                                                     

Saturday, March 21, 2015

Bersukarelawan, Apa Enaknya?

Beberapa tahun lalu saya bertemu dengan para pengurus pengadaan perpustakaan daerah, kota tempat tinggal saya sehubungan dengan acara "book signing" untuk novel perdana saya berjudul Enthusiasm yang terbit di Amerika Serikat. Sebagai pengurus, mereka bertanggung jawab atas keberadaan perpustakaan daerah sehingga ketua dapat mengangkat pemimpin perpustakaan untuk dipekerjakan. Anehnya, para pengurus tersebut adalah para sukarelawan dan pemimpin perpustakaan adalah pekerja. Walaupun sebagai sukarelawan, mereka berhak mengatur keberadaan perpustakaan daerah dan pemimpin perpustakaan harus tunduk dengan keputusan rapat para pengurus yang notabene adalah para sukarelawan. Inti adanya pengurus tersebut adalah mengusahakan perpustakaan daerah harus tetap berjalan dan tidak ditutup oleh karena faktor keterbatasan pendanaan dari pusat. Sedangkan pemimpin perpustakaan dapat mempekerjakan beberapa karyawan sesuai dengan dana yang tersedia dan membuka kesempatan kepada para sukarelawan lainnya yang ingin membantu di perpustakaan.

Saat putri saya masih pra sekolah, setiap tahun sekolah tersebut mengadakan penggalangan dana, yaitu acara lelang. Barang-barang yang mereka lelang merupakan sumbangan dari para murid/orang tua murid, juga dari perusahaan-perusahaan kecil hingga menengah di sekitarnya, misalnya makanan, minuman, perawatan badan/rambut/kuku, olahraga, pertukangan hingga peralatan berkebun, produk pertanian, dan sebagainya. Saat acara berlangsung, ruangan olahraga yang mereka gunakan penuh sesak oleh para pengunjung. Bila saya perhatikan sebenarnya harga yang ditawarkan untuk barang-barang lelang memang dimulai dari bawah tetapi bila terus ditawarkan dan peminatnya banyak, maka harganya bisa melambung tinggi, jauh melebihi harga barang tersebut. Sedangkan para pengunjung umumnya mereka yang tinggal di lingkungan sekolah tersebut selain keluarga dan rekan-rekan orang tua para murid. Tak disangka semua barang yang dilelang terjual habis bahkan dana yang terkumpul melebihi target. Melalui dana tersebut sekolah dapat membeli peralatan musik, olahraga dan perlatan lainnya sebagai penunjang kegiatan belajar-mengajar. Akhirnya saya mengetahui bahwa seorang yang terus berceloteh di panggung penawaran lelang ternyata adalah sukarelwan pula. Kesimpulannya, seluruh penyelenggaraan didukung seratus persen oleh para sukarelawan dan penyumbang barang-barang.

Setelah putri saya masuk ke sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, para orang tua murid diberi kesempatan untuk bersukarelawan pula, dari bergabung sebagai tim penggalangan dana sekolah, membantu para guru di kelas hingga membantu mengajar membaca/menulis. Setelah berselang beberapa tahun, saya baru memahami bahwa ternyata para sukarelawan (para orang tua murid) tersebut berperan utama dalam penggalangan dana sekolah yang mereka gunakan untuk menunjang aktifitas-aktifitas sekolah, misalnya "study tour" dan acara-acara lainnya sehingga para murid tidak terbebani oleh biaya. Mereka bisa bebas biaya sama sekali atau berkurang biayanya bila mengadakan suatu acara. Dapat dibayangkan bila tak ada para sukarelawan tersebut, betapa repotnya kepala sekolah dan para guru mengurus penggalangan dana yang dapat mempengaruhi perhatian khusus mereka dalam aktifitas mengajar.

Selain di perpustakaan dan sekolah, kegiatan bersukarelawan banyak ditemukan di setiap komunitas-komunitas daerah, seperti pemeliharaan taman umum daerah, acara-acara tahunan daerah, bahkan tim pemadam kebakaran dan tim gawat darurat (Tim 911). Saat masih berusia dua belas tahun, suami saya sudah bergabung dengan tim pemadam kebakaran. Pada usia tersebut ia membantu membagi-bagikan makanan dan minuman kepada para korban yang kehilangan rumah mereka. Pada usia enam belas tahun selain ia masih bergabung dengan tim pemadam kebakaran, ia pun bersukarelawan sebagai salah satu tim gawat darurat (Tim 911). Di kedua tim tersebut, ia bersukarelawan selama dua belas tahun. 

Kegiatan bersukarelawannya menimbulkan pertanyaan bagi saya. Akhirnya saya bertanya mengapa ia tertarik bersukarelawan dengan aktifitas yang berhubungan dengan pengorbanan nyawa diri sendiri dan menyangkut nyawa orang lain. Jawabnya sederhana saja. Ia ingin membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman. Lalu saya bertanya lagi mengapa banyak sekali orang-orang Amerika yang suka bersukarelawan bahkan kegiatannya berkesinambungan tidak hanya satu atau dua hari, sepekan atau sebulan, melainkan tahunan hingga menjadi penanggung jawab pada instansi yang penting atau untuk kepentingan publik. Ia pun menjawab secara sederhana pula bahwa selain suka membantu, mereka suka mengembangkan "network" (jaringan kerja). 

Jawaban terakhir dari suami menggugah pikiran saya. Mengembangkan jaringan kerja adalah hal baru dan belum pernah saya pikirkan sebelumnya. Dari situlah saya memahami mengapa suami saya langsung menjawab "ya" saat minta ijin darinya bila saya diperbolehkan bersukarelawan di KabarIndonesia dari penulis/pewarta warga menjadi salah satu tim editor. Ia mengetahui bila saya suka menulis sehingga ia pun tidak keberatan. Menurutnya bila saya tertarik terhadap bidang tulis-menulis, maka kegiatan bersukarelawan terebut adalah sangat tepat. 

Melakukan kegiatan sukarelawan adalah harus dilakukan dengan senang hati karena tidak dibayar. Maka dari itu ketertarikan di bidang menulislah yang membawa saya menjadi salah satu sukarelawan di KabarIndonesia. Bertahun-tahun menjadi sukarelawan, banyak pembelajaran yang saya dapatkan. Suami saya berpesan bila bersukarelawan agar tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun. "Bersukarelawan, ya bersukarelawan. Jangan berharap sesuatu dari apa yang telah diberikan" itulah pesannya yang telah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Saya belajar darinya bahwa bersukarelawan adalah memberikan pelayanan kepada sesama sehingga tentunya harus dilakukan dengan segenap hati, bukan dengan paksaan atau tekanan. Jadi menurutnya saya memang harus menyukai kegiatan tersebut terlebih dahulu bila memutuskan untuk bersukarelawan. Dengan begitu kegiatan saya akan berkembang dan hasilnya akan dirasakan oleh sesama. Benar-benar saya mengaminkannya karena memang benar seperti apa yang dikatakannya bahwa saya sendiri merasa berkembang. Walaupun sebagai sukarelawan tetapi menuntut cara kerja profesional. Itulah yang dikehendaki suami saya. Apa yang ia harapkan pun nyata, bukan hanya berkembang, tetapi jaringan kerja saya pun semakin berkembang pula. Tentunya sangat tepat bagi seorang penulis.

Apabila Anda termasuk salah seorang sukarelawan di KabarIndonesia, apakah pengalaman menariknya? Tentu jawabnya akan berbeda-beda tergantung dari tujuan masing-masing. Namun saya yakin bahwa tulisan-tulisan kita akan bermanfaat untuk sesama. Satu pahala yang patut disyukuri. Apabila kita melakukan untuk sesama, berarti kita pun melakukannya untuk Tuhan. Jadi menunggu apa lagi? Ayo, menulis sesuatu yang menarik dan bermanfaat, dan jangan lupa diedit yang baik sebelum meninggalkan kolom pengisian tulisan dan mengecek susunan alineanya setelah menyimpannya. Selamat bersukarelawan.(*)


Tulisan ini telah ditayangkan di HOKI, 3-12-2014