Idul Fitri sudah lewat. Saya yakin dari minggu lalu sudah banyak
pemudik yang kembali ke rumah masing-masing. Lain halnya di
Pennsylvania, USA. Tak ada perbedaan saat Idul Fitri tiba, hingga saya
pun lupa. Padahal seminggu sebelumnya sudah mengingatnya. Bagaimana saya
kembali mengingatnya?
Saat sibuk-sibuknya siang hari kami bekerja
di depan layar komputer, tiba-tiba pimpinan perusahaan kami datang dan
membawa sekotak besar berbagai macam donat dari Dunkin’ Donuts. Karena
jumlah tim kami tidak banyak, maka tak lama donat-donat itu pun habis.
Dalam perjalanan pulang ke rumah yang memakan waktu sekitar satu jam
perjalanan dengan menyetir mobil, pikiran pun melayang ke pimpinan
perusahaan. Pemberian donat siang hari itu mengusik pikiran. Saya
bertanya dalam hati, mengapa ia membawa donat-donat tersebut? Saya
berpikir pasti ada yang khusus. Saya terus berpikir apakah yang khusus
itu? Ulang tahun, bukan. Merayakan Ulang Tahun perusahaan pun bukan.
Akhirnya, saya pun baru ingat kalau hari itu adalah hari Idul Fitri dan
pimpinan perusahaan adalah muslim, kelahiran Iran. Hal itu membuat saya
kecewa, tidak mengucapkan Selamat Idul Fitri kepadanya.
Saya
baru sadar setelah dua minggu bekerja di tempat pekerjaan tersebut,
tidak pernah melihatnya makan dan minum di antara semua anggota tim.
Tentu ia pun berpuasa, tapi ia selalu ada di tengah-tengah para
karyawannya walau kami sedang asyik menikmati makanan dan minuman. Ia
pun tak menampakkan kalau sedang berpuasa sehingga membuat saya pun
lupa. Facebook-lah yang membuat saya ingat kembali melihat foto-foto
makanan untuk berbuka puasa atau membaca berita-berita online mengenai
penggrebekkan warung-warung yang buka di siang hari.
Berita-berita
tersebut menarik perhatian saya. Yang menarik adalah para penggrebek
membawa pulang makanan yang dijual di warung dan melihat ibu—si
penjual—menangis. Hati saya sangat iba, bagaimana perasaan para
penggerebek itu membawa pulang makanan ibu penjual warung tersebut.
Mungkin ibu itu tetap berjualan karena pembelinya juga banyak yang tidak
berpuasa—misalnya para pembecak—sehingga ia ingin tetap melayani selain
menginginkan keuntungan. Semestinya ditutup saja kalau memang dibuat
aturan tidak boleh berjualan (razia) di siang hari dan dapat dibuka
kembali sejam sebelum waktu buka puasa tiba. Tidak perlu berbagi-bagi
makanan yang bukan miliknya sendiri. Apakah mereka tidak berpikir dari
mana ibu itu akan mendapatkan kembali uangnya? Tentu saja ia menangis
karena uangnya tidak dapat kembali lagi. Mungkin ia tak memiliki cukup
uang untuk menjual makanan lagi atau ia akan berhutang untuk berjualan
lagi. Benar-benar saya tidak tega membaca berita tersebut dan melihat
videonya. Hingga saya berpikir apakah para penggerebek itu sedang
berpuasa juga? Kalau memang mereka sedang berpuasa, maka sia-sialah
ibadah puasa mereka.
Dari berita tersebut, timbul pikiran
yang lain. Kalau dengan sesama muslim mereka bertindak seperti itu,
bagaimana halnya kepada yang tidak sesama muslim? Semoga berita ini
menjadi renungan bersama bagaimana mengasihi sesama selama bulan
Ramadhan dan semoga tak terulang lagi dan ibadah puasa mereka diterima
oleh Tuhan.
Bertoleransi itu sebenarnya indah, tidak hanya
dengan yang berbeda agama, melainkan dengan sesama agama pun, khususnya
di bulan Ramadhan. Tidak hanya menghormati dan bertoleransi dengan yang
sedang berpuasa tapi juga kepada mereka yang tidak berpuasa pun,
termasuk yang muslim. (*)
Sumber foto: Google
Artikel ini telah dipurbilkasikan di Harian Online KabarIndonesia (HOKI), 16 Juli 2016.
Link Artikel di HOKI