Beberapa tahun lalu saya bertemu dengan para pengurus pengadaan perpustakaan daerah, kota tempat tinggal saya sehubungan dengan acara "book signing" untuk novel perdana saya berjudul Enthusiasm yang terbit di Amerika Serikat. Sebagai pengurus, mereka bertanggung jawab atas keberadaan perpustakaan daerah sehingga ketua dapat mengangkat pemimpin perpustakaan untuk dipekerjakan. Anehnya, para pengurus tersebut adalah para sukarelawan dan pemimpin perpustakaan adalah pekerja. Walaupun sebagai sukarelawan, mereka berhak mengatur keberadaan perpustakaan daerah dan pemimpin perpustakaan harus tunduk dengan keputusan rapat para pengurus yang notabene adalah para sukarelawan. Inti adanya pengurus tersebut adalah mengusahakan perpustakaan daerah harus tetap berjalan dan tidak ditutup oleh karena faktor keterbatasan pendanaan dari pusat. Sedangkan pemimpin perpustakaan dapat mempekerjakan beberapa karyawan sesuai dengan dana yang tersedia dan membuka kesempatan kepada para sukarelawan lainnya yang ingin membantu di perpustakaan.
Saat putri saya masih pra sekolah, setiap tahun sekolah tersebut mengadakan penggalangan dana, yaitu acara lelang. Barang-barang yang mereka lelang merupakan sumbangan dari para murid/orang tua murid, juga dari perusahaan-perusahaan kecil hingga menengah di sekitarnya, misalnya makanan, minuman, perawatan badan/rambut/kuku, olahraga, pertukangan hingga peralatan berkebun, produk pertanian, dan sebagainya. Saat acara berlangsung, ruangan olahraga yang mereka gunakan penuh sesak oleh para pengunjung. Bila saya perhatikan sebenarnya harga yang ditawarkan untuk barang-barang lelang memang dimulai dari bawah tetapi bila terus ditawarkan dan peminatnya banyak, maka harganya bisa melambung tinggi, jauh melebihi harga barang tersebut. Sedangkan para pengunjung umumnya mereka yang tinggal di lingkungan sekolah tersebut selain keluarga dan rekan-rekan orang tua para murid. Tak disangka semua barang yang dilelang terjual habis bahkan dana yang terkumpul melebihi target. Melalui dana tersebut sekolah dapat membeli peralatan musik, olahraga dan perlatan lainnya sebagai penunjang kegiatan belajar-mengajar. Akhirnya saya mengetahui bahwa seorang yang terus berceloteh di panggung penawaran lelang ternyata adalah sukarelwan pula. Kesimpulannya, seluruh penyelenggaraan didukung seratus persen oleh para sukarelawan dan penyumbang barang-barang.
Setelah putri saya masuk ke sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, para orang tua murid diberi kesempatan untuk bersukarelawan pula, dari bergabung sebagai tim penggalangan dana sekolah, membantu para guru di kelas hingga membantu mengajar membaca/menulis. Setelah berselang beberapa tahun, saya baru memahami bahwa ternyata para sukarelawan (para orang tua murid) tersebut berperan utama dalam penggalangan dana sekolah yang mereka gunakan untuk menunjang aktifitas-aktifitas sekolah, misalnya "study tour" dan acara-acara lainnya sehingga para murid tidak terbebani oleh biaya. Mereka bisa bebas biaya sama sekali atau berkurang biayanya bila mengadakan suatu acara. Dapat dibayangkan bila tak ada para sukarelawan tersebut, betapa repotnya kepala sekolah dan para guru mengurus penggalangan dana yang dapat mempengaruhi perhatian khusus mereka dalam aktifitas mengajar.
Selain di perpustakaan dan sekolah, kegiatan bersukarelawan banyak ditemukan di setiap komunitas-komunitas daerah, seperti pemeliharaan taman umum daerah, acara-acara tahunan daerah, bahkan tim pemadam kebakaran dan tim gawat darurat (Tim 911). Saat masih berusia dua belas tahun, suami saya sudah bergabung dengan tim pemadam kebakaran. Pada usia tersebut ia membantu membagi-bagikan makanan dan minuman kepada para korban yang kehilangan rumah mereka. Pada usia enam belas tahun selain ia masih bergabung dengan tim pemadam kebakaran, ia pun bersukarelawan sebagai salah satu tim gawat darurat (Tim 911). Di kedua tim tersebut, ia bersukarelawan selama dua belas tahun.
Kegiatan bersukarelawannya menimbulkan pertanyaan bagi saya. Akhirnya saya bertanya mengapa ia tertarik bersukarelawan dengan aktifitas yang berhubungan dengan pengorbanan nyawa diri sendiri dan menyangkut nyawa orang lain. Jawabnya sederhana saja. Ia ingin membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman. Lalu saya bertanya lagi mengapa banyak sekali orang-orang Amerika yang suka bersukarelawan bahkan kegiatannya berkesinambungan tidak hanya satu atau dua hari, sepekan atau sebulan, melainkan tahunan hingga menjadi penanggung jawab pada instansi yang penting atau untuk kepentingan publik. Ia pun menjawab secara sederhana pula bahwa selain suka membantu, mereka suka mengembangkan "network" (jaringan kerja).
Jawaban terakhir dari suami menggugah pikiran saya. Mengembangkan jaringan kerja adalah hal baru dan belum pernah saya pikirkan sebelumnya. Dari situlah saya memahami mengapa suami saya langsung menjawab "ya" saat minta ijin darinya bila saya diperbolehkan bersukarelawan di KabarIndonesia dari penulis/pewarta warga menjadi salah satu tim editor. Ia mengetahui bila saya suka menulis sehingga ia pun tidak keberatan. Menurutnya bila saya tertarik terhadap bidang tulis-menulis, maka kegiatan bersukarelawan terebut adalah sangat tepat.
Melakukan kegiatan sukarelawan adalah harus dilakukan dengan senang hati karena tidak dibayar. Maka dari itu ketertarikan di bidang menulislah yang membawa saya menjadi salah satu sukarelawan di KabarIndonesia. Bertahun-tahun menjadi sukarelawan, banyak pembelajaran yang saya dapatkan. Suami saya berpesan bila bersukarelawan agar tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun. "Bersukarelawan, ya bersukarelawan. Jangan berharap sesuatu dari apa yang telah diberikan" itulah pesannya yang telah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Saya belajar darinya bahwa bersukarelawan adalah memberikan pelayanan kepada sesama sehingga tentunya harus dilakukan dengan segenap hati, bukan dengan paksaan atau tekanan. Jadi menurutnya saya memang harus menyukai kegiatan tersebut terlebih dahulu bila memutuskan untuk bersukarelawan. Dengan begitu kegiatan saya akan berkembang dan hasilnya akan dirasakan oleh sesama. Benar-benar saya mengaminkannya karena memang benar seperti apa yang dikatakannya bahwa saya sendiri merasa berkembang. Walaupun sebagai sukarelawan tetapi menuntut cara kerja profesional. Itulah yang dikehendaki suami saya. Apa yang ia harapkan pun nyata, bukan hanya berkembang, tetapi jaringan kerja saya pun semakin berkembang pula. Tentunya sangat tepat bagi seorang penulis.
Apabila Anda termasuk salah seorang sukarelawan di KabarIndonesia, apakah pengalaman menariknya? Tentu jawabnya akan berbeda-beda tergantung dari tujuan masing-masing. Namun saya yakin bahwa tulisan-tulisan kita akan bermanfaat untuk sesama. Satu pahala yang patut disyukuri. Apabila kita melakukan untuk sesama, berarti kita pun melakukannya untuk Tuhan. Jadi menunggu apa lagi? Ayo, menulis sesuatu yang menarik dan bermanfaat, dan jangan lupa diedit yang baik sebelum meninggalkan kolom pengisian tulisan dan mengecek susunan alineanya setelah menyimpannya. Selamat bersukarelawan.(*)
Tulisan ini telah ditayangkan di HOKI, 3-12-2014
Saturday, March 21, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment